A. Multikulturalisme
Akar
kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara
etimologis, multikulturalisme dibentuk
dari kata multi
yang artinya banyak atau beragam,
kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau paham. Secara hakiki dalam kata tersebut terkandung pengakuan
akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya
masing-masing yang unik.
Multikulturalisme adalah paradigma yang
menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural, selain itu multikulturalisme adalah sebuah filosofi —terkadang ditafsirkan
sebagai ideologi— yang menghendaki adanya
persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial
politik yang sama dalam masyarakat modern.
Menurut Parsudi Suparlan
(2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan
yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Menurut Prof Dr. Bakdi Soemanto, multikulturalisme adalah pandangan saling menghargai
dan menghormati dalam perbedaan dan bukan sekadar toleransi.
Konsep multikulturalisme
tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau
kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme mengajarkan kepada kita bagaimana
perbedaan yang ada tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan perpecahan
atau konflik. Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher
Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa
multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan
mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.
B.
Politik Multikulturalisme
Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas partikular yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Setiap kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemen
maupun di kabinet. Semua kelompok
dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan
ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap
kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan
politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.
Menurut Kymlicka (dalam Haryatmoko, 2009) arah atau
tujuan politik multikulturalisme adalah
: ”Pengakuan keberagaman budaya
yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat
terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan
identitas mereka diakui”.
Rumusan ini mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu identitas,
partisipasi, dan keadilan. Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya
dan agama. Kekhasan mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan
identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap
kolektivitas.
Di Indonesia, politik multikulturalisme mulai
menjadi wacana hangat yang diperbincangkan banyak orang ketika mantan presiden Gus
Dur menjabat. Mantan Presiden Republik Indonesia yang kini sudah meninggal
dunia, merupakan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau
pluralisme yang ada di Indonesia. Beliau mengakui keberadaan dan eksistensi
kaum Tionghoa ditengah-tengah warga pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat
kesempatan untuk berperan serta dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama
warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia pada masa
pemerintahan Gus Dur.
Tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur
sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya
dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di
Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman
sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.
Aspek pertama dari multikulturalisme
yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas
atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis
kelamin. Inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai the
politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman,
keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas
kulturalnya.
Hal tersebut memberi ruang kepada masing-masing masyarakat yang berbeda tersebut untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Hal tersebut memberi ruang kepada masing-masing masyarakat yang berbeda tersebut untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Konsekuensi logis dari pilihan politik
seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah
membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Gus
Dur menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah
lebih maju. Beliau menghayati dan
mempraktekan toleransi
positif-maksimal yaitu membela kelompok mana
saja —termasuk khususnya minoritas— yang
dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih
maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas
kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak
mengganggu dan menghambat kelompok lain. Beliau mendorong orang
Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Beliau pun mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas
budayanya yang unik dan seterusnya.
Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus
Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong
kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri
dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Dur
mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen,
beliau justru semakin menjadi seorang muslim yang baik
dan taat.
Sikap
menghargai terhadap perbedaan yang ada di negara Indonesia ini yang dicontohkan
oleh Gus Dur, merupakan cermin bagi kita semua bahwa perbedaan baik dalam
segala hal pun bukan merupakan hambatan namun justru sebagai alat pemersatu dan
pelengkap satu sama lain. Multikulturalisme
bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik
pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi
manusia justru akan menjamin tertib sosial
dan melalui itu setiap orang dapat menjadi dirinya
sendiri dalam keragaman yang unik.
C.
Sasaran Politik Multikultural :
- Membentuk toleransi, keterbukaan, dan solidaritas.
- Membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus.
- Mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi.
- Penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar