Selasa, 27 Desember 2011

politik multikulturalisme


A.    Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam, kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau paham. Secara hakiki dalam kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural, selain itu multikulturalisme adalah sebuah filosofi —terkadang ditafsirkan sebagai ideologi—  yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.
Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Menurut Prof Dr. Bakdi Soemanto, multikulturalisme adalah pandangan saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan bukan sekadar toleransi.
Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan  sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Multikulturalisme mengajarkan kepada kita bagaimana perbedaan yang ada tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan perpecahan atau konflik. Mengutip S. Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking Context, Process And Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

B.       Politik Multikulturalisme
Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas partikular yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Setiap kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.
Menurut Kymlicka (dalam Haryatmoko, 2009) arah atau tujuan politik multikulturalisme  adalah : ”Pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui”.
Rumusan ini mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu identitas, partisipasi, dan keadilan. Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap kolektivitas.
Di Indonesia, politik multikulturalisme mulai menjadi wacana hangat yang diperbincangkan banyak orang ketika mantan presiden Gus Dur menjabat. Mantan Presiden Republik Indonesia yang kini sudah meninggal dunia, merupakan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia. Beliau mengakui keberadaan dan eksistensi kaum Tionghoa ditengah-tengah warga pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat kesempatan untuk berperan serta dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia pada masa pemerintahan Gus Dur.
Tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.
Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengakuan akan adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin. Inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dan kelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas kulturalnya.
Hal tersebut memberi ruang kepada masing-masing masyarakat yang berbeda tersebut untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Gus Dur menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju. Beliau menghayati dan mempraktekan toleransi positif-maksimal yaitu membela kelompok mana saja —termasuk khususnya minoritas— yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Beliau mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Beliau pun mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik dan seterusnya.
Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Dur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang muslim yang baik dan taat.
Sikap menghargai terhadap perbedaan yang ada di negara Indonesia ini yang dicontohkan oleh Gus Dur, merupakan cermin bagi kita semua bahwa perbedaan baik dalam segala hal pun bukan merupakan hambatan namun justru sebagai alat pemersatu dan pelengkap satu sama lain. Multikulturalisme bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia justru akan menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri dalam keragaman yang unik.
C.      Sasaran Politik Multikultural :
  1. Membentuk toleransi, keterbukaan, dan solidaritas.
  2. Membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus.
  3. Mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi.
  4. Penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar